Wednesday, October 19, 2016

Sejarah Berdiri Kota Ambon



Kota yang berjuluk Manis e ini, meski masuk kategori kota sedang di Indonesia, namun terkenal karena keindahan alamnya yang dikelilingi perbukitan, laut dan teluk yang indah. Sayang keindahan itu hancur lebur baik fisik maupun non fisik, ketika dilanda konflik sosial pada 19 Januari 1999 sampai sekitar awal 2004.
Kota Ambon bukan hanya dikenal sebagai ibukota Provinsi Maluku (termasuk Maluku Utara ketika belum dimekarkan), namun jauh sebelumnya ratusan tahun lalu, kota ini sudah menjadi markas atau ibukota dari penjajah Portugis, Belanda dan Spanyol. Menjadi pusat pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda selain Batavia yang kini dikenal dengan nama Jakarta, ibukota Republik Indonesia. Bahkan para saudagar dari negeri Cina, Arab dan India, pun sudah berdatangan sejak saat itu. Ambon sebelum dimekarkan wilayahnya pada tahun 1979, luasnya hanya sekitar 4 kilometer persegi. Atau kurang lebih dari Batugantung sampai jembatan Batumerah saja. Waktu itu penduduknya sekitar 100.000 lebih jiwa. Akibatnya Kota Ambon saat itu dikenal sebagai salah satu kota terpadat di dunia! Setelah dimekarkan, luas wilayah Kota Ambon adalah 377 kilometer dari Latuhalat, Waitatiri, Laha, termasuk kampung-kampung di pegunungan. Penduduknya sebelum konflik 1999 berjumlah kurang lebih 350.000 jiwa, kini diperkirakan sekitar 250.000 sampai 300.000 jiwa.

Orang-orang Portugis pertama yang pernah mendarat di Ambon adalah Francisco Serrao bersama delapan orang anak buah kapalnya pada tahun 1512. Kapal mereka karam di celah Nusa Penyu; dan terdampar di Nusa Telu (pulau tiga) di depan negeri Asilulu ujung barat Hitu. Mereka diterima oleh Raja Negeri Hitu Meseng. Menurut Rumphius dan Valentijn, mereka diberikan tempat tinggal di dekat sungai Pikapoli yang berada di selatan  negeri Mamala.
Benteng pertama Portugis mulai didirikan di Hila Kaitetu pantai utara Hitu pada  tanggal  20  Mei  1569  oleh  Laksamana  Goencalo  Peirera  Maramaque setelah menaklukan jazirah Leihitu. Benteng kedua Portugis didirikan di antara negeri Galala dan Hatiwe kecil di muara Wai Tua. Kedudukan benteng itu di depan Tanjung Martafons dan desa Rumahtiga, dahulu disebut Hukunalu. Setelah benteng Hila di pantai utara Hitu dibakar, maka orang Portugis membangun benteng ketiga dekat Halong di wilayah teluk Ambon.
Benteng keempat Portugis dibangun oleh Sancho de Vasconcelos. Selama pembangunan benteng dilaksanakan, ada kejadian yang tidak diduga sebelumnya karena tiba-tiba               beberapa       desa yang                tadinya setia kepada Portugis,           balik mengancam menyerang bahkan membangkang terhadap Portugis.


Setelah benteng tersebut selesai semua rakyat pindah dari benteng lama ke benteng baru. Jadi bukan hanya garnisun tetapi juga pemukiman mereka yang terletak di luar benteng, yang berasal dari Hatiwe, Tawiri, Halong dan juga orang- orang Mardijker dan sekelompok orang Portugis yang disebut casados yang menikah dengan para wanita pribumi. Semuanya ikut berangkat menuju tmepat baru dan membangun rumah mereka di sekitar kastil atau benteng Kota Laha”. Jadi sejak 1567 sudah ada sebuah pemukiman kota kecil di samping benteng. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa bulan Juli 1576 sebagai awal peresmian benteng dan kota Ambon.
Penaklukan pulau Ambon dari tangan Portugis dipimpin oleh Laksamana Steven Van der Haghen pada tanggal 23 Pebruari 1605 dibantu oleh kekuatan tempur Ternate, Luhu di pulau Seram, Hitu maupun pasukan bantuan dari Jawa, dan Goa (Makasar) menyebabkan kastel Portugis jatuh ke tangan VOC.
setelah Belanda berhasil menguasai Kepulauan Maluku dan Ambon khususnya dari kekuasaan Portugis, benteng tersebut lantas menjadi pusat pemerintahan beberapa Gubernur Jenderal Belanda sekaligus mengontrol jalur perdagangan melalui badan perdagangannya VOC, dan benteng itu diubah namanya menjadi Nieuw Victoria yang dikenal sampai saat ini. Steven  Vander  Hagen  mengangkat  Frederik  de  Hotman sebagai Gubernur pertama di Ambon tahun 1505-1511 dan ia mulai melakukan perjanjian dengan pemimpin-pemimpin lokal di pulau Ambon dan beberapa daerah lain di Maluku. Pengganti de Hotman adalah Jansz Japer yang memerintah selama empat tahun tetapi tidak ditemukan kemajuan yang penting selama masa kepemimpinannya. Pada bulan Maret tahun 1515  Adrian Martensz  Block  dari Alkmaar tampil memerintah sebagai gubernur dengan gaya kepemimpinan otoriter yang memaksakan rakyat untuk kerja paksa memperluas/memperbesar Benteng Victoria. Tindakan Gubernur ini menyebabkan penduduk Negeri Soya dan Ema yang terletak di pedalaman jazirah Leitimur melakukan perlawanan bersenjata menentang tindakan gubernur Adrian yang semena-mena terhadap rakyat di Pulau Ambon. Ini adalah awal dari permusuhan antara orang-orang Ambon dengan Belanda (VOC).



Masyarakat Maluku terus ditekan, pohon-pohon cengkih ditebang di berbagai
daerah, praktek monopoli perdagangan rempah-rempah terus dilestarikan membuat
masyarakat memberontak. Tetapi karena kalah dalam persenjataan dan strategi,
semua upaya melawan Belanda selalu dapat dipatahkan.
Pada 17 Pebruari 1796 Belanda menyerah kepada laksamana Inggris Pieter
Ramier. Sejak itu wilayah Maluku untuk sementara dikuasai oleh Inggris sampai
tahun 1803. Inggris menguasai Maluku secara umumnyua dan kota Ambon secara
khusus selama enam tahun. Setelah itu terjadi penyerahan kembali kepada pihak
Belanda.


Kota Ambon di Era Kemerdekaan
Kota Ambon dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Negara Indonesia
Timur tanggal 14 Februari 1948 No. 1/Pr.V/48 (Staatsblad Indonesia Timur No. 15
tahun 194). Wilayah kota Ambon yang dibentuk merupakan bekas “Gemeente
Amboina” yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda dibentuk dengan Staatsblad
1921 No. 524, sebagai suatu badan hukum yang sederajat dengan “stadsgemeente”
berdasarkan pasal 2 ayat 1 dari ordonansi tertanggal 13 Februari 1946 (staatsblad
1946 No. 17) yang ditetapkan oleh Residen di Ambon pada bulan April 1948.

Pembentukan ini kemudian hanya bersifat sementara karena berdasarkan pasal 4
dari peraturan presiden Negara Indonesia Timur diatas, menyatakan bahwa
peraturan itu akan dihapus oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia Timur selambat lambatnya dua tahun setelah pembentukannya
Dua tahun kemudian keluarlah Peraturan Presiden Negara Indonesia Timur
tertanggal 23 Agustus 1948 No. 3 Pr.V/48 (Staatsblad Indonesia Timur No. 30 tahun
1948), yang disebut “Daerah Maluku Selatan” ditetapkan, bahwa
“Groopsgemeenschap Maluku Selatan” (Staatsblad 1946 No. 86) dihapuskan dan
dibentuk sebagai suatu badan hukum setingkat dengan “Landschap”, berdasarkan
pasal 1 ayat (1) Staatsblad 1946 No. 17. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Negara
Indonesia Timur (Staatsblad Indonesia Timur No. 30 Tahun 1948) tersebut di atas
menyatakan, bahwa Landschap tidak sejati Maluku Selatan itu terdiri dari beberapa
“Landschap tidak sejati yang rendahan”, antara lain “Landschap Kota Ambon tidak
sejati yang rendahan" (pasal 2 ayat (1). Maka oleh sebab itu Daerah Maluku Selatan
dulu berhak campur tangan terhadap stadsgemeente Ambon yang dulu.

Dalam perkembangannya daerah Kota Ambon kembali dibentuk berdasarkan
surat Gubernur Provinsi Maluku tertanggal 1 Mei 1951 No. 2056/1/Bg segala alat-alat
pemerintahan Daerah Maluku Selatan dulu ditarik ke atas, sambil menunggu
pembentukan daerah daerah otonoom di dalam daerah itu. Dengan Peraturan
Pemerintah No. 35 tahun 1952 tertanggal 12 Agustus 1952 dibentuklah Daerah
Maluku Tengah dan Daerah Maluku Tenggara dan wilayah Kota Ambon tidak
dimasukkan dalam Daerah Maluku Tengah, karena wilayah Kota Ambon itu akan
dibentuk sebagai suatu daerah otonom sama tingkatnya dengan kedua Daerah
tersebut. Sambil menunggu pembentukan itu, dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri tertanggal 10 Januari 1952 No. UP 15/2/44 telah diangkat Wali Kota
Ambon. Dengan berlakunya Undang-undang Negara Indonesia Timur No. 44
tahun 1950 pada tanggal 24 Juni 1950, yang mengatur pemerintahan Daerah daerah
di bekas Negara Indonesia Timur, maka menurut pasal 1 ayat (2) undang-undang
tersebut, Daerah-daerah adalah sama sebagaimana ditetapkan di dalam "Peraturan
Pembentukan Negara Indonesia Timur", Staatsblaad 1946 No. 143 (pasal 14 ayat
(1). Daerah daerah tersebut dapat diubah dengan atau berdasarkan peraturan
Negara, sambil mengingat jiwa pasal 5 Staatsblad tersebut. Mengingat ketentuan
tersebut serta dengan memperhatikan keinginan rakyat dan perkembangan politik di
daerah serta untuk melancarkan jalannya pemerintahan, maka dengan Peraturan
Pemerintah ini Kota Ambon dibentuk, sebagai suatu daerah yang berhak mengatur
dan mengurus rumahtangganya sendiri setingkat dengan Kota Besar sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang No. 22 tahun 1948.

Perlu ditegaskan, bahwa sampai tahun 1950 pemerintahan Daerah di kota
Ambon dijalankan menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Negara
Indonesia Timur No. 44 tahun 1950.

Pada kenyataannya, fakta tentang kelahiran Ambon yang dilegitimasi sekelompok intelektual dalam forum akedimis Universitas Pattimura (Universitas Pattimura) tahun 1972, adalah sebuah penyimpangan sejarah yang dilakukan secara sadar karena menetapkan 7 September sebagai hari ulang tahun kota Ambon.

Keputusan ini membuat Ambon sebagai satu-satunya kota di dunia yang kelahirannya begitu anomali. Tanggalnya diambil dari peristiwa yang berbeda dari tahunnya. Kesalahan sejarah ini terjadi pada masa Walikota Ambon, Matheos H. Manuputty (Walikota Ambon ke-9) yang membentuk dan mengangkat panitia khusus sejarah kota Ambon dengan tugas menggali dan menentukan hari lahir kota Ambon. Seminar ini lantas dimotori Fakultas Keguruan Unpatti pada 14 hingga 17 Nopember 1972, dengan ketua Drs. John Sitanala (Dekan Fakultas Keguruan Unpatti), wakil ketua Drs. John A. Pattikayhatu (Ketua Jurusan Sejarah Unpatti), dan Sekretaris Drs. Z. J. Latupapua (Sekretaris Fakultas Keguruan Unpatti).

Seminar lalu menetapkan hari lahir kota Ambon jatuh pada 7 September 1575. Untuk pertama kalinya HUT Kota Ambon diperingati pada 7 September 1973, setahun setelah seminar membuat keputusan itu. Tahun 1575 diambil sebagai patokan pendirian kota Ambon berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dikemukakan dalam seminar bahwa pada tahun tersebut dimulainya pembangunan benteng “Kota Laha” di dataran Honipopu. Benteng Portugis yang bernama asli “Nossa Senhora de Anunciada”.

Sedangkan penetapan 7 September didasari peninjauan sejarah bahwa pada 7 September 1921, masyarakat Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda, untuk menentukan jalannya Pemerintahan Kota melalui wakil-wakilnya di Gemeeteraad (Dewan Kota) berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal pada 7 September 1921  (Staatblad 92 Nomor 524) yang mengartikulasi kemandirian kota Ambon. Dari sini kemudian ditetapkan sebagai hari berdirinya kota Ambon.

Dokumen Portugis dan Gereja Katolik menunjukkan fakta lain, yang justru menyajikan bukti historis sekaligus memvalidasi hari bersejarah Ambon. Surat Kapten Estevão Teixeira de Macedo tertanggal 2 Juni 1601 perihal berdirinya kota yang juga disebut Cidade de Amboino (Kota Amboina atau Ambon). De Macedo adalah Kapten “Nossa Senhora da Anunciada” sebelum kapten terakhir Gaspar de Melo yang menyerahkan benteng ini kepada Belanda tahun 1605 karena kalah perang. Dalam surat yang tersimpan di Saville (Spanyol) itu, de Macedo menulis bahwa entitas awal kota Amboina adalah pada 25 Maret 1576, ketika batu pertama “Nossa Senhora da Anunciada” diletakkan di tepi teluk bernama Honipopu. Saksi mata abad ke-17 dan ke-18, baik Rumphius, Valentijn dan Rijali, menyebutkan, penduduk pulau Ambon ketika itu lebih mengenal Benteng Portugis itu dengan sebutan “Kota Laha” yang berarti benteng (kota) di teluk (laha).

Merujuk pada dua momentum yang berbeda baik tanggal maupun tahun kelahiran kota Ambon, tentu saja keotentikan sejarahnya perlu ditinjau kembali. Hasil keputusan seminar buah pikir manusia tentu masih bisa dirubah, mengingat sifatnya tidak final. Sejarah yang nantinya kita wariskan kepada anak-cucu sebaiknya sebuah kebenaran, bukan rekayasa dan pemutar-balikan fakta. Otentitas sejarah yang bebas nilai dan kepentingan sangatlah penting, bukan saja pada tataran teoritis dan pertanggungjawaban intelektualitas, tapi juga pemaknaan dan aktualisasinya. Kebohongan sejarah yang telah kita ketahui bersama sudah saatnya memunculkan kesadaran kritis secara kolektif untuk mengoreksinya. Bukan membiarkan, apalagi mengakuinya sebagai sebuah kebenaran.



No comments:

Post a Comment