Kota yang berjuluk Manis e ini, meski masuk kategori kota sedang di Indonesia, namun terkenal karena keindahan alamnya yang dikelilingi perbukitan, laut dan teluk yang indah. Sayang keindahan itu hancur lebur baik fisik maupun non fisik, ketika dilanda konflik sosial pada 19 Januari 1999 sampai sekitar awal 2004.
Kota Ambon bukan hanya dikenal sebagai
ibukota Provinsi Maluku (termasuk Maluku Utara ketika belum dimekarkan), namun
jauh sebelumnya ratusan tahun lalu, kota ini sudah menjadi markas atau ibukota
dari penjajah Portugis, Belanda dan Spanyol. Menjadi pusat pemerintahan
Gubernur Jenderal Belanda selain Batavia yang kini dikenal dengan nama Jakarta,
ibukota Republik Indonesia. Bahkan para saudagar dari negeri Cina, Arab dan
India, pun sudah berdatangan sejak saat itu. Ambon sebelum dimekarkan
wilayahnya pada tahun 1979, luasnya hanya sekitar 4 kilometer persegi. Atau
kurang lebih dari Batugantung sampai jembatan Batumerah saja. Waktu itu
penduduknya sekitar 100.000 lebih jiwa. Akibatnya Kota Ambon saat itu dikenal
sebagai salah satu kota terpadat di dunia! Setelah dimekarkan, luas wilayah
Kota Ambon adalah 377 kilometer dari Latuhalat, Waitatiri, Laha, termasuk
kampung-kampung di pegunungan. Penduduknya sebelum konflik 1999 berjumlah
kurang lebih 350.000 jiwa, kini diperkirakan sekitar 250.000 sampai 300.000 jiwa.
Orang-orang
Portugis pertama
yang pernah mendarat di Ambon adalah
Francisco Serrao bersama delapan orang anak buah kapalnya pada tahun 1512. Kapal mereka karam di celah Nusa Penyu; dan terdampar di Nusa Telu (pulau tiga)
di depan negeri Asilulu ujung
barat Hitu. Mereka diterima oleh Raja
Negeri Hitu
Meseng. Menurut Rumphius dan Valentijn,
mereka
diberikan tempat tinggal di dekat
sungai Pikapoli yang berada di selatan
negeri Mamala.
Benteng pertama Portugis mulai didirikan di Hila Kaitetu pantai utara Hitu
pada
tanggal 20
Mei 1569 oleh Laksamana Goencalo Peirera Maramaque
setelah menaklukan jazirah Leihitu. Benteng kedua Portugis didirikan di antara negeri Galala dan Hatiwe kecil di muara Wai Tua. Kedudukan benteng itu
di depan Tanjung Martafons dan desa Rumahtiga, dahulu disebut Hukunalu.
Setelah benteng
Hila
di pantai utara Hitu dibakar, maka orang Portugis membangun benteng
ketiga
dekat
Halong di wilayah
teluk
Ambon.
Benteng keempat Portugis dibangun oleh Sancho de Vasconcelos. Selama
pembangunan benteng dilaksanakan,
ada
kejadian yang tidak diduga sebelumnya
karena
tiba-tiba beberapa desa
yang tadinya
setia
kepada Portugis, balik mengancam menyerang bahkan
membangkang terhadap Portugis.
Setelah benteng tersebut
selesai “semua
rakyat” pindah dari benteng lama ke benteng baru. Jadi bukan hanya
garnisun tetapi juga pemukiman mereka
yang terletak di luar benteng, yang
berasal dari Hatiwe,
Tawiri,
Halong dan juga
orang- orang Mardijker dan sekelompok orang Portugis yang
disebut casados yang
menikah dengan para wanita pribumi. Semuanya ikut berangkat menuju tmepat baru
dan
membangun rumah mereka di sekitar kastil atau benteng “Kota Laha”. Jadi sejak 1567 sudah ada
sebuah pemukiman kota
kecil di samping benteng. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa bulan Juli 1576 sebagai awal peresmian benteng
dan kota Ambon.
Penaklukan pulau Ambon dari tangan Portugis dipimpin oleh Laksamana Steven Van der Haghen pada tanggal 23 Pebruari 1605 dibantu oleh kekuatan tempur Ternate, Luhu di
pulau Seram, Hitu maupun pasukan bantuan dari Jawa,
dan
Goa (Makasar) menyebabkan kastel Portugis jatuh ke tangan VOC.
setelah
Belanda berhasil menguasai Kepulauan Maluku dan Ambon khususnya dari kekuasaan
Portugis, benteng tersebut lantas menjadi pusat pemerintahan beberapa Gubernur
Jenderal Belanda sekaligus mengontrol jalur perdagangan melalui badan
perdagangannya VOC, dan benteng itu diubah namanya menjadi Nieuw Victoria yang
dikenal sampai saat ini. Steven Vander Hagen mengangkat Frederik
de
Hotman sebagai Gubernur pertama di Ambon tahun 1505-1511 dan ia mulai melakukan
perjanjian dengan pemimpin-pemimpin lokal di pulau Ambon dan beberapa daerah lain
di Maluku. Pengganti de Hotman adalah Jansz Japer yang
memerintah selama
empat
tahun tetapi tidak ditemukan
kemajuan
yang penting selama
masa
kepemimpinannya. Pada bulan Maret tahun 1515
Adrian Martensz Block dari Alkmaar tampil memerintah sebagai gubernur dengan gaya kepemimpinan otoriter
yang memaksakan rakyat
untuk kerja paksa memperluas/memperbesar Benteng Victoria. Tindakan Gubernur ini menyebabkan penduduk Negeri Soya dan Ema yang
terletak di pedalaman jazirah Leitimur melakukan perlawanan bersenjata
menentang
tindakan gubernur
Adrian yang semena-mena
terhadap
rakyat di Pulau Ambon.
Ini adalah
awal dari permusuhan antara orang-orang Ambon dengan
Belanda (VOC).
Masyarakat
Maluku terus ditekan, pohon-pohon cengkih ditebang di berbagai
daerah, praktek
monopoli perdagangan rempah-rempah terus dilestarikan membuat
masyarakat
memberontak. Tetapi karena kalah dalam persenjataan dan strategi,
semua upaya
melawan Belanda selalu dapat dipatahkan.
Pada
17 Pebruari 1796 Belanda menyerah kepada laksamana Inggris Pieter
Ramier.
Sejak itu wilayah Maluku untuk sementara dikuasai oleh Inggris sampai
tahun 1803.
Inggris menguasai Maluku secara umumnyua dan kota Ambon secara
khusus selama
enam tahun. Setelah itu terjadi penyerahan kembali kepada pihak
Belanda.
Kota Ambon di Era
Kemerdekaan
Kota
Ambon dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Negara Indonesia
Timur tanggal 14
Februari 1948 No. 1/Pr.V/48 (Staatsblad Indonesia Timur No. 15
tahun 194).
Wilayah kota Ambon yang dibentuk merupakan bekas “Gemeente
Amboina” yang
pada masa pemerintahan Hindia Belanda dibentuk dengan Staatsblad
1921 No. 524,
sebagai suatu badan hukum yang sederajat dengan “stadsgemeente”
berdasarkan pasal
2 ayat 1 dari ordonansi tertanggal 13 Februari 1946 (staatsblad
1946 No. 17) yang
ditetapkan oleh Residen di Ambon pada bulan April 1948.
Pembentukan
ini kemudian hanya bersifat sementara karena berdasarkan pasal 4
dari peraturan
presiden Negara Indonesia Timur diatas, menyatakan bahwa
peraturan itu
akan dihapus oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia Timur selambat lambatnya dua
tahun setelah pembentukannya
Dua tahun
kemudian keluarlah Peraturan Presiden Negara Indonesia Timur
tertanggal 23
Agustus 1948 No. 3 Pr.V/48 (Staatsblad Indonesia Timur No. 30 tahun
1948), yang
disebut “Daerah Maluku Selatan” ditetapkan, bahwa
“Groopsgemeenschap
Maluku Selatan” (Staatsblad 1946 No. 86) dihapuskan dan
dibentuk sebagai
suatu badan hukum setingkat dengan “Landschap”, berdasarkan
pasal 1 ayat (1)
Staatsblad 1946 No. 17. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Negara
Indonesia Timur
(Staatsblad Indonesia Timur No. 30 Tahun 1948) tersebut di atas
menyatakan, bahwa
Landschap tidak sejati Maluku Selatan itu terdiri dari beberapa
“Landschap tidak
sejati yang rendahan”, antara lain “Landschap Kota Ambon tidak
sejati yang
rendahan" (pasal 2 ayat (1). Maka oleh sebab itu Daerah Maluku Selatan
dulu berhak
campur tangan terhadap stadsgemeente Ambon yang dulu.
Dalam
perkembangannya daerah Kota Ambon kembali dibentuk berdasarkan
surat Gubernur
Provinsi Maluku tertanggal 1 Mei 1951 No. 2056/1/Bg segala alat-alat
pemerintahan
Daerah Maluku Selatan dulu ditarik ke atas, sambil menunggu
pembentukan
daerah daerah otonoom di dalam daerah itu. Dengan Peraturan
Pemerintah No. 35
tahun 1952 tertanggal 12 Agustus 1952 dibentuklah Daerah
Maluku Tengah dan
Daerah Maluku Tenggara dan wilayah Kota Ambon tidak
dimasukkan dalam
Daerah Maluku Tengah, karena wilayah Kota Ambon itu akan
dibentuk sebagai
suatu daerah otonom sama tingkatnya dengan kedua Daerah
tersebut. Sambil
menunggu pembentukan itu, dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri tertanggal
10 Januari 1952 No. UP 15/2/44 telah diangkat Wali Kota
Ambon. Dengan
berlakunya Undang-undang Negara Indonesia Timur No. 44
tahun 1950 pada
tanggal 24 Juni 1950, yang mengatur pemerintahan Daerah daerah
di bekas Negara
Indonesia Timur, maka menurut pasal 1 ayat (2) undang-undang
tersebut,
Daerah-daerah adalah sama sebagaimana ditetapkan di dalam "Peraturan
Pembentukan
Negara Indonesia Timur", Staatsblaad 1946 No. 143 (pasal 14 ayat
(1). Daerah
daerah tersebut dapat diubah dengan atau berdasarkan peraturan
Negara, sambil
mengingat jiwa pasal 5 Staatsblad tersebut. Mengingat ketentuan
tersebut serta
dengan memperhatikan keinginan rakyat dan perkembangan politik di
daerah serta
untuk melancarkan jalannya pemerintahan, maka dengan Peraturan
Pemerintah ini
Kota Ambon dibentuk, sebagai suatu daerah yang berhak mengatur
dan mengurus
rumahtangganya sendiri setingkat dengan Kota Besar sebagaimana
dimaksud dalam
Undang-undang No. 22 tahun 1948.
Perlu
ditegaskan, bahwa sampai tahun 1950 pemerintahan Daerah di kota
Ambon dijalankan
menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Negara
Indonesia Timur No. 44 tahun 1950.
Pada
kenyataannya, fakta tentang kelahiran Ambon yang dilegitimasi sekelompok
intelektual dalam forum akedimis Universitas Pattimura (Universitas Pattimura)
tahun 1972, adalah sebuah penyimpangan sejarah yang dilakukan secara sadar
karena menetapkan 7 September sebagai hari ulang tahun kota Ambon.
Keputusan
ini membuat Ambon sebagai satu-satunya kota di dunia yang kelahirannya begitu
anomali. Tanggalnya diambil dari peristiwa yang berbeda dari tahunnya.
Kesalahan sejarah ini terjadi pada masa Walikota Ambon, Matheos H. Manuputty
(Walikota Ambon ke-9) yang membentuk dan mengangkat panitia khusus sejarah kota
Ambon dengan tugas menggali dan menentukan hari lahir kota Ambon. Seminar ini
lantas dimotori Fakultas Keguruan Unpatti pada 14 hingga 17 Nopember 1972,
dengan ketua Drs. John Sitanala (Dekan Fakultas Keguruan Unpatti), wakil ketua
Drs. John A. Pattikayhatu (Ketua Jurusan Sejarah Unpatti), dan Sekretaris Drs.
Z. J. Latupapua (Sekretaris Fakultas Keguruan Unpatti).
Seminar
lalu menetapkan hari lahir kota Ambon jatuh pada 7 September 1575. Untuk
pertama kalinya HUT Kota Ambon diperingati pada 7 September 1973, setahun
setelah seminar membuat keputusan itu. Tahun 1575 diambil sebagai patokan
pendirian kota Ambon berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dikemukakan dalam
seminar bahwa pada tahun tersebut dimulainya pembangunan benteng “Kota Laha” di
dataran Honipopu. Benteng Portugis yang bernama asli “Nossa Senhora de
Anunciada”.
Sedangkan
penetapan 7 September didasari peninjauan sejarah bahwa pada 7 September 1921,
masyarakat Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda,
untuk menentukan jalannya Pemerintahan Kota melalui wakil-wakilnya di Gemeeteraad
(Dewan Kota) berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal pada 7 September 1921
(Staatblad 92 Nomor 524) yang mengartikulasi kemandirian kota Ambon. Dari
sini kemudian ditetapkan sebagai hari berdirinya kota Ambon.
Dokumen
Portugis dan Gereja Katolik menunjukkan fakta lain, yang justru menyajikan
bukti historis sekaligus memvalidasi hari bersejarah Ambon. Surat Kapten
Estevão Teixeira de Macedo tertanggal 2 Juni 1601 perihal berdirinya kota yang
juga disebut Cidade de Amboino (Kota Amboina atau Ambon). De Macedo adalah
Kapten “Nossa Senhora da Anunciada” sebelum kapten terakhir Gaspar de Melo yang
menyerahkan benteng ini kepada Belanda tahun 1605 karena kalah perang. Dalam
surat yang tersimpan di Saville (Spanyol) itu, de Macedo menulis bahwa entitas
awal kota Amboina adalah pada 25 Maret 1576, ketika batu pertama “Nossa Senhora
da Anunciada” diletakkan di tepi teluk bernama Honipopu. Saksi mata abad ke-17
dan ke-18, baik Rumphius, Valentijn dan Rijali, menyebutkan, penduduk pulau
Ambon ketika itu lebih mengenal Benteng Portugis itu dengan sebutan “Kota Laha”
yang berarti benteng (kota) di teluk (laha).
Merujuk
pada dua momentum yang berbeda baik tanggal maupun tahun kelahiran kota Ambon,
tentu saja keotentikan sejarahnya perlu ditinjau kembali. Hasil keputusan
seminar buah pikir manusia tentu masih bisa dirubah, mengingat sifatnya tidak
final. Sejarah yang nantinya kita wariskan kepada anak-cucu sebaiknya sebuah
kebenaran, bukan rekayasa dan pemutar-balikan fakta. Otentitas sejarah yang
bebas nilai dan kepentingan sangatlah penting, bukan saja pada tataran teoritis
dan pertanggungjawaban intelektualitas, tapi juga pemaknaan dan aktualisasinya.
Kebohongan sejarah yang telah kita ketahui bersama sudah saatnya memunculkan
kesadaran kritis secara kolektif untuk mengoreksinya. Bukan membiarkan, apalagi
mengakuinya sebagai sebuah kebenaran.
No comments:
Post a Comment